APAKAH MUT'AH ITU NIKAH?

Argumentasi Syiah tentang halalnya apa yg disebut hubungan mut'ah dengan ayat 4:24 tidak lain adalah dengan membelokkan makna dan tujuan dari ayat tersebut dan mengeluarkan konteks ayat tersebut dari ayat sebelum dan sesudahnya dan juga tidak melihat bahwa al_Quran itu merupakan satu kesatuan dan ayat yang satu merupakan penjelasan bagi ayat yang lain. Contoh yang juga sangat mencolok adalah pada kasus kata "Ahlul Bait" pada ayat 33:33 yang juga dikeluarkan dari konteks-nya agar bisa dipesongkan maknanya menjadi orang-orang tertentu di luar konteks ayat tersebut.

Nah sekarang kita lihat konteks kata TAM-TA'-TUM pada ayat tersebut:

Dan janganlah kamu NIKAHI :
- wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (meNIKAHI)
- ibu-ibumu;
- anak-anakmu yang perempuan;
- saudara-saudaramu yang perempuan,
- saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
- saudara-saudara ibumu yang perempuan;
- anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
- anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
- ibu-ibumu yang menyusui kamu;
- saudara perempuan sepersusuan;
- ibu-ibu istrimu (mertua);
- anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
- istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
- menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan (diharamkan juga kamu meNIKAHI)
- wanita yang bersuami, kecuali MAA-MALAKAT-AIMAA-NUKUM, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.  
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk diNUKAHI bukan untuk berzina. Maka APA YG KAMU SEMUA TELAH BERSENANG-SENANG DENGANNYA DARI MEREKA (para isteri), maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, SESUDAH MENENTUKAN MAHAR ITU.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk meNIKAHIi wanita merdeka lagi beriman, maka (ia boleh meNIKAHI) wanita yang beriman, dari "maa-malakat aimaanukum" (orang-orang yg dalam kekuasaanmu).
Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu NIKAHILAH mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. Itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4:22-25)

Jadi kalau TIDAK DIKELUARKAN DARI konteksnya, ayat di atas -salah satunya- berisi tentang kewajiban membayar mahar setelah akad nikah yang harus dibayarkan jika sang suami telah bersenang-senang dengan isterinya. Ini terlihat dari kalimat berikutnya "tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, SESUDAH MENENTUKAN MAHAR ITU"

Tidak terbayang sama sekali sedang berbicara tetang apa yang disebut "NIKAH (yg sebenarnya bukan nikah) MUT'AH". Dan kalau kita mengakui bahwa ajaran AL-Quran itu merupakan satu kesatuan maka ayat-ayat tentang NIKAH ini juga harus dikaitkan dengan ayat-ayat lainnya tentang NIKAH.

Al-Quran mengajarkan bahwa Nikah itu tergolong sebagai "mistaqon gholidhon" (4:21), sebuah kata yang juga digunakan dalam konteks perjanjian para Nabi dengan Allah (33:7). Jadi bukan sembarang perjanjian atau perjanjian main-main.

Karena kuatnya ikatan tersebut, suami isteri yang sudah menikah tidak begitu saja bisa berpisah/ bercerai. Jika timbul masalah harus didamaikan dahulu dalam rangka islah dengan mediator hakam dari pihak suami ataupun pihak isteri:

4:35 Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Sulitnya proses cerai juga nampak dari perlunya dua orang saksi ketika terjadi proses perceraian (65:2). Jadi tidak asal terlontar kata cerai dari suami, lantas terjadi cerai. Dan sebaliknya, bila sudah terlanjur cerai, didorong untuk rujuk dan proses rujuknya pun begitu mudah (baca ayat-ayat berikut: 2:228,229,231; 65:2).

Karena ayat-ayat Al-Quran merupakan SATU kesatuan ajaran Islam, maka ayat tentang nikah semestinya merupakan satu paket ajaran dengan ayat-ayat tentang cerai dan ayat-ayat lainnya tentang berkeluarga.

Dengan demikian gambaran NIKAH sesuai ajaran AL-Quran itu jauh sekali dengan MUT'AH, sehingga BID'AH Mut'ah ini tidak layak disebut Nikah.

Karena Mut'ah merupakan bid'ah, maka sebagai konsekuensinya si penggagasnya harus menciptakan bid'ah-bid'ah lanjutannya, misalnya dalam hal aturan iddah dari si wanita bekas di-mut'ah, aturan pewarisan anak produk mut'ah dll. yang semuanya tidak ada di Al-Quran.

Dengan kacamata Al-Quran, hubungan sex yang putusnya tidak mengenal proses cerai itu lebih layak disebut ZINA.

Dari manakan kemungkinan ajaran Mut'ah berasal?

Sebagaimana kita ketahui, bahwa ajaran yang menyimpang pada suatu agama itu biasanya terjadi akibat pengaruh (baik disengaja atau tidak) keyakinan atau doktri yang sudah ada di daerah dimana ajaran yang asli tersebut berkembang.

Umumnya muslim mengakui bahwa ajaran trinitas pada agama Nasrani itu tidak asli ajaran Yesus/ Nabi Isa, tetapi akibat pengaruh keyakinan msyarakat Romawi.

Tentu kita bertanya-tanya dari manakah ajaran mut'ah yang dianggap nikah tersebut dan kenapa sangat populer di masyarakat Parsi (Iran dan Irak)?

Berikut saya kutipkan bentuk-bentuk pernikahan di agama Majusi/ Zoroaster yang dahulunya berpusat di Persia (Irakdan Iran sekarang) dan merupakan keyakinan masyarakat Persia zaman dahulu yang besar kemungkinan mut'ah yang dianggap nikah itu berasal:

-----------------------------------------------------------------------
Jenis perkawinan

Dalam paham Zoroaster/ Majusi pada dasarnya terdapat dua jenis perkawinan (zanîh), yaitu: pâdixšâyîhâ   ("dengan otorisasi, diberi otorisasi") dan stûrîh, masing-masing dengan beberapa subjenis dan bentuk-bentuk yang tidak teratur. Karena mengalami pengaburan secara bertahap dan modifikasi oleh terminologi Persia Tengah pada periode Islam, bagaimanapun, lima jenis perkawinan diakui dalam Rivayats Persia (Terj. Dhabhar, I, hlm 180-81).

Pernikahan dengan diberi otorisasi

Pernikahan dengan otorisasi (zanîh î zan pâdixšâyîhâ  "pernikahan seorang wanita dalam kondisi diberi otorisasi"; Mâdayân, pt 1, hal. 36) adalah penyatuan/ ikatan hukum seorang suami dan istri; dapat ditafsirkan sebagai nikah yang "sah", setara dengan pernikahan dalam Islam atau Kristen. Anggota keluarga yang dikenal sebagai šôy "suami," zan "istri," pus "anak lelaki," dan duxt "anak perempuan". Tipe pernikahan ini memerlukan otorisasi dari ayah atau wali dari mempelai wanita, serta kontrak pernikahan yang rinci (paymân î zanîh;. Pahlavi Texts, ed Jamasp-Asana, hlm. 141-43), yang darinya sebuah contoh telah bertahan pada periode Islam (1278 CE). Dalam pâdixšâyîhâ tidak hanya sanksi dari wali tetapi juga persetujuan mempelai begitu penting (Mâdayân, pt. 1, hal. 36). AÚdurbâd Î Mahrspandân (qv) menyarankan para pria muda untuk meminang sendiri kepada mempelai wanita (xweštan ray zan xwad xwâh; Pahlavi Texts, ed Jamasp-Asana, hal. 61), yang darinya ia mengikuti bahwa pada periode Sasania pernikahan biasanya diatur oleh para orang tua atau comblang, sebagaimana adat di Persia yang masih ada. Itu adalah tugas seorang ayah untuk memutuskan bagi anak lelakinya untuk mencari istri dan putrinya diberikan dalam pernikahan (Dênkard, ed. Madan, II, hal 744).

Muncul sebelum hakim (mowbed) adalah dua orang ayah, mempelai wanita (wayôg) dan mempelai pria (Damad), dan tiga saksi (gugây), yang identitasnya sudah didaftar. Ketika menikah mempelai laki-laki diandaikan berstatus sebagai kepala rumah tangga dan mempelai wanita sebagai nyonya rumah, dengan hak dan kewajiban yang menyertainya (Dênkard, ed. Madan, II, hal 739).

Diketahui adanya kebiasaan kuno menerima sejumlah dua ribu drahms '"keamanan" (pâyandanîh) oleh mempelai wanita, yang merupakan sebuah eufemisme dari suatu pernikahan. Juga diduga bahwa bagi kelompok kelas yang lebih tinggi, porsi pernikahan tidak terbatas pada jumlah tradisional ini tetapi juga termasuk harta bergerak atau nyata yang diberikan kepada keluarga mempelai wanita dengan imbalan mahar yang kaya (*passâzagân). Transaksi seperti itulah yang mungkin menjadi alasan utama untuk memilih menikah dengan kerabat dekat, untuk mencegah harta kekayaan meninggalkan keluarga tersebut. Bahkan pada kenyataannya, jenis perkawinan yang paling bermanfaat, yang dianggap sebagai obat mujarab untuk semua dosa yang mematikan selain sodomi (Rivâyat î Êmêd, bab 29), adalah apa yang oleh Parsi modern disebut sebagai penyatuan "keluarga terdekat" (xwêdôdah, Av xvaêtvadaƒa-; AirWb. , col 1860; Nyberg, Manual II, hal 224), yang dijelaskan dalam Dênkard (ed. Madan, I, p. 73) sebagai "penyatuan ayah dan anak perempuan, anak lelaki dan ibu, saudara lelaki dan saudara perempuan" (hampaywandîh î Engkau pid duxt ud, ud ud burdâr nanah, ud ud brad xwah). Dinyatakan di Yasna (12.9) orang-orang saleh -xvaêtvadaƒa – mendapat penghormatan.

Pernikahan kerabat, pada awalnya dilakukan oleh kaum bangsawan di antara orang banyak, yang kemudian seacara umum dilakukan oleh semua bagian masyarakat Iran, strata tinggi dan rendah. Banyak raja-raja Persia menikahi saudara perepuannya atau anak perempuannya (Boyce, Zoroastrianisme I, hal. 254 n. 24, II, hlm 75-77; idem, 1979, sv khvâetvadatha), dan Majusi dilaporkan oleh Xanthus Lydia melakukan hidup bersama dengan ibu dan anak mereka (Jackson, hlm 152-57). Pada periode Sasania imam Arda Wîrâz (qv) mengambil semua tujuh saudara perempuannya sebagai istri (Arda Wîrâz Nâmag, chap. 2). Pernikahan keluarga terdekat di kalangan rakyat biasa dibahas di kebanyakan buku-buku hukum Persia Tengah, terutama Rivâyat î Êmêd (pasal 22, 24, 27-30; lih de Menasce, 1985, hlm 138-44;. Shaki, 1971, hlm 335-36; Nyberg, Manual II, hal 224).

Pernikahan Pâdixšâyîhâ bisa bersifat sementara, untuk jangka waktu yang disepakati bersama, dan dengan demikian dapat berfungsi sebagai bentuk perkawinan persahabatan. Setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan mahar istri dan harta pribadi (wâspuhragân) kembali kepadanya, namun, jika dia meninggal, properti itu menjadi milik suaminya (Mâdayân, pt. 2, hal. 2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer